SOLO - Daerah Istimewa Surakarta (DIS) dan Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) dinilai memiliki perbedaan mendasar bagaikan
langit dengan bumi. Pada masa kemerdekaan, terdapat penyatuan antara
rakyat dengan penguasa Kasultanan Yogyakarta, sementara hal itu tidak
terjadi di Kasunanan Surakarta.
Pengamat budaya dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Solo, Jawa Tengah, Tunjung W Sutirto, membeberkan, kondisi saat kerajaan di tanah Jawa masih memegang kendali pemerintahan, di tengah upaya Republik Indonesia merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
Kasultanan Yogyakarta dinilai lebih jeli memanfaatkan situasi dan kondisi saat itu. Sosok Hamengku Buwono (HB) IX yang tenang dan kharismatik, dan pihak Keraton Pakualaman mampu membaca peta politik ke depan.
"Beliau (HB IX dan Paku Alam) aristokrat kultural itu bisa menyatu dengan masyarakatnya. Sehingga pada suatu momentum yang ditulis dalam sejarah kisah heroisme dari pihak kasultanan dan masyarakatnya bersatu untuk mempertahankan dan memperjuangkan kemerdekaannya," jelas Tunjung.
Pengamat budaya dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Solo, Jawa Tengah, Tunjung W Sutirto, membeberkan, kondisi saat kerajaan di tanah Jawa masih memegang kendali pemerintahan, di tengah upaya Republik Indonesia merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
Kasultanan Yogyakarta dinilai lebih jeli memanfaatkan situasi dan kondisi saat itu. Sosok Hamengku Buwono (HB) IX yang tenang dan kharismatik, dan pihak Keraton Pakualaman mampu membaca peta politik ke depan.
"Beliau (HB IX dan Paku Alam) aristokrat kultural itu bisa menyatu dengan masyarakatnya. Sehingga pada suatu momentum yang ditulis dalam sejarah kisah heroisme dari pihak kasultanan dan masyarakatnya bersatu untuk mempertahankan dan memperjuangkan kemerdekaannya," jelas Tunjung.
Keraton Surakarta |
Saat
itu, Kasultanan Yogyakarta sebagai penguasa wilayah dianggap mampu
memberikan jaminan keamanan penuh yang didukung oleh seluruh
masyarakatnya. Maka tidak heran jika Yogyakarta terpilih menjadi Ibu
Kota Sementara Republik Indonesia saat negara dalam keadaan darurat
atau bahaya.
Namun kondisi tersebut tidak ditemukan di Solo. Institusi keraton di mana raja sebagai penguasa baik di Kasunanan Surakarta maupun di Pura Mangkunegaran, tidak memiliki peran seperti di wilayah Yogyakarta.
"Sehingga ada karena perbedaan antara aristokrat kultural dengan masyarakat Solo. Pihak keraton tidak bisa merangkul masyarakatnya. Kemudian muncullah, gerakan anti-kerajaan, anti-feodalisme, anti-kolonalisme dan sebagainya," paparnya.
Dia menambahkan, di Surakarta justru terjadi penuh konflik. Apalagi dalam konstelasi politik tanah air pada waktu itu Surakarta menjadi Wild West yang diciptakan menjadi suatu daerah penuh huru-hara. Daerah Wild Westmemang sengaja diciptkan agar masyarakat tidak kembali lagi ke dalam suatu sistem swapraja (memiliki pemerintahan sendiri).
"DIS dan DIY sangat jauh. Sekali pun kita tidak menutup mata jika keraton juga sangat berperan besar dalam menjaga kemerdekaan, dengan memberikan aset keraton termasuk prajuritnya diserahkan untuk mempertahankan kemerdekaan. Namun karena persoalan ketatanegaraan antara Kasunanan dan Mangkunegaran yang tidak bisa cair, membuat dua institusi aristokrat kultural itu kehilangan DIS sampai sekarang," pungkasnya.
Namun kondisi tersebut tidak ditemukan di Solo. Institusi keraton di mana raja sebagai penguasa baik di Kasunanan Surakarta maupun di Pura Mangkunegaran, tidak memiliki peran seperti di wilayah Yogyakarta.
"Sehingga ada karena perbedaan antara aristokrat kultural dengan masyarakat Solo. Pihak keraton tidak bisa merangkul masyarakatnya. Kemudian muncullah, gerakan anti-kerajaan, anti-feodalisme, anti-kolonalisme dan sebagainya," paparnya.
Dia menambahkan, di Surakarta justru terjadi penuh konflik. Apalagi dalam konstelasi politik tanah air pada waktu itu Surakarta menjadi Wild West yang diciptakan menjadi suatu daerah penuh huru-hara. Daerah Wild Westmemang sengaja diciptkan agar masyarakat tidak kembali lagi ke dalam suatu sistem swapraja (memiliki pemerintahan sendiri).
"DIS dan DIY sangat jauh. Sekali pun kita tidak menutup mata jika keraton juga sangat berperan besar dalam menjaga kemerdekaan, dengan memberikan aset keraton termasuk prajuritnya diserahkan untuk mempertahankan kemerdekaan. Namun karena persoalan ketatanegaraan antara Kasunanan dan Mangkunegaran yang tidak bisa cair, membuat dua institusi aristokrat kultural itu kehilangan DIS sampai sekarang," pungkasnya.
0 komentar:
Posting Komentar